Selasa, 21 September 2010

Contoh Karya Tulis Siswa SMP 3 Pati

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu warisan budaya masyarakat Jawa Tengah adalah seni batik kain. Secara fungsional seni batik yang dikenal dewasa ini, tidak dapat dipisahkan dengan “nilai“ kain dalam kehidupan masyarakat. Kain disamping digunakan untuk melindungi badan dari pengaruh iklim, cuaca serta serangan dari binatang kecil, juga dapat menunjukkan tingkat peradaban dan budaya dari masyarakat pendukungnya. Hal ini tercermin dalam berbagai kain batik dengan motif-motifnya. Motif-motif tersebut terkandung ide-ide, gagasan, norma-norma, nilai etika dan estetika yang secara umum menggambarkan keadaan budaya masyarakat pendukungnya.
Setiap daerah yang mengerjakan pembatikan satu dan yang lain mempunyai keunikan atau kekhasan masing-masing. Keunikan tersebut dapat dapat dilihat dalam ragam hias maupun tata warnanya. Keunikan tersebut dipengaruhi berbagai hal seperti sistem kepercayaan, tata kehidupan maupun alam sekitarnya.
Kain batik sebagai warisan budaya tersebar di berbagai daerah di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Di Jawa Tengah terdapat beberapa sentral penghasil batik, diantaranya dapat dijumpai di kawasan pesisir utara Pulau Jawa, seperti : Pekalongan, Batang, Lasem, dan Bakaran. Di samping wilayah pesisir pantai utara, wilayah pedalaman atau wilayah bagian selatan Pulau Jawa juga dijumpai sentral penghasil batik seperti : Solo, Yogyakarta, Klaten, dan Banyumas.
Batik di daerah tersebut sampai sekarang masih banyak diproduksi. Namun demikian keberadaan seni batik tersebut di beberapa tempat mengalami kemunduran dan bahkan menuju kepunahan. Batik gaya Banyumasan misalnya yang pada tahun sekitar 1970-an terdapat 80 pengusaha dan ratusan perajin batik. Pada saat ini yang masih bertahan tidak lebih dari 10 orang pengusaha. Ketidakmampuan bertahan tersebut diantaranya dipengaruhi oleh upah kerja yang rendah, yaitu berkisar 6000 rupiah sampai 8500 rupiah per hari. Di sisi lain serbuan batik dari daerah lain dengan motif batik yang lebih variatif menambah keterpurukan batik Banyumas. Akibatnya batik Banyumasan hanya bertahan di sekitar Banyumas saja.
Seni membatik di Jawa Tengah terutama batik tulis semakin terdesak lagi apabila dikaitkan dengan kemajuan industri tekstil. Hal ini dikarenakan bentuk dan motif batik tulis banyak diproduksi oleh mesin dan cap. Hasil industri ini dikenal dengan Batik printing atau batik cap.
Seperti umumnya warisan budaya lainnya di Indonesia, di tengah-tengah arus globalisasi dan kemajuan zaman, perajin seni batik menghadapi permasalahan. Permasalahan yang timbul karena upah buruh, persaingan industri batik dengan rekayasa teknologi, ekonomi serta kurangnya apresiasi masyarakat terhadap nilai keadiluhungan seni batik. Di sisi lain juga karena kurangnya informasi dan promosi makna dan keindahan seni batik hasil budaya bangsa.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah batik bakaran itu?
2. Apakah batik bakaran warisan budaya Jawa di tanah Pati?
3. Mengapa batik Bakaran Wetan bisa terkenal luas?

C. Tujuan Penulisan Karya Tulis
1. Mengetahui sejarah batik di Indonesia.
2. Mengenali budaya bangsa sendiri khususnya di daerah Pati dan sekitarnya.
3. Mengenalkan budaya warisan bangsa didaerah Pati kepada masyarakat sekolah.
4. Mengenali budaya bangsa sendiri
5. Melestarikan budaya asal Pati.
6. Bisa menerima budaya asli Indonesia.

D. Manfaat Penulisan Karya Tulis
1. Agar dapat mengenal budaya daerah Pati lebih jauh.
2. Agar dapat melestarikan budaya Indonesia.
3. Melatih siswa agar dapat berfikir kreatif dalam membuat karya tulis.

E. Sistematika Penulisan
Karya tulis ini disusun menurut sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I :Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang, Rumusan Masalah,Tujuan Penulisan Karya Tulis, dan Manfaat Penulisan Karya Tulis, Sistematika Penulisan
BAB II:Landasan Teori yang meliputi Pengertian batik, Pengertian budaya serta Pengertian warisan.
BAB III :Metode Penelitian
BAB IV:Pembahasan
BAB V :Penutup meliputi, Kesimpulan dan Saran

BAB II
LANDASAN TEORITIS

1. Pengertian Batik
Batik n 1 corak atau gambar (pada kain) yang pembuatannya secara khusus dengan menerakan malam kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu; 2 kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menerakan malam pada kain itu kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu; kain batik
Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009. (Sugono, 2010:13)
2. Pengertian budaya
Budaya n 1 pikiran; akal budi: hasil --; 2 kebudayaan: menyelidiki bahasa dan --; 3 yang mengenai kebudayaan; yang sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yang-; -- pop budaya yang diproduksi secara komersial, massal dan menjadi ikon budaya massa; berbudaya v mempunyai budaya; mempunyai pikiran dan akal budi yang sudah maju: bangsa yang --; membudaya v menjadi kebudayaan atau menjadi kebiasaan yang dianggap wajar; mendarah daging: hal itu sudah – bagi bangsa Indonesia; membudayakan v 1 mengajar supaya mempunyai budaya; mendidik supaya beradab (berbudaya): sejarah adalah pelajaran yang dapat ~ manusia; 2 membiasakan suatu perbuatan yang baik sehingga dianggap sbg berbudaya: para pemimpin
Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Poespowardojo, 1993: 45). The American Herritage Dictionary
Menurut mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.
Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.

3. Pengertian warisan
Warisan n sesuatu yang diwariskan, seperti nama baik, harta, hartapusaka.
Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Warisan berasal dari bahasa Arab Al-miirats, dalam bahasa arab adalah bentuk masdar (infinititif) dari kata waritsa- yaritsu- irtsan- miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah ‘berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain’. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala’).
Harta Warisan yang dalam istilah fara’id dinamakan tirkah (peninggalan) adalah sesuau yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainyayang dibenarkan oleh syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penulisan karya tulis ini, tim penulis menggunakan dua metode penulisan, yakni metode deskriptif. Metode deskriptif (menggambarkan) merupakan metode yang gaya penulisannya dengan cara menerangkan suatu masalah atau gejala dengan memberikan deskripsi secara kasat mata atau deskripsi fisik tanpa mencari hubungan sebab-akibat antara hal-hal yang digambarkan. Gaya penulisan deskriptif menggunakan pola pertanyaan 5 W dan I H, yaitu who (siapa), what (apa), when (kapan), where (di mana), why (mengapa) dan how (bagaimana).
Penelitian yang tim penulis lakukan sesuai dengan prosedur berikut :
1. Menemukan masalah
Tim penulis dituntut untuk menemukan masalah yang berhubungan dengan kebudayaan yang terdapat di Indonesia. Kali ini yang masalah yang menjadi bahasan adalah corak budaya dalam Batik Bakaran Pati.
2. Menjelaskan masalah
Tim penulis menjelaskan masalah sesuai dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Perkembangan Batik Bakaran serta batik Bakaran merupakan warisan budaya Jawa yang masih berkembang serta digemari oleh masyarakat di daerah Pati.
3. Cara perolehan data
Cara yang digunakan tim penulis dalam memperoleh data adalah dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi tim penulis lakukan dengan objek pembuatan serta sejarah batik di rumah jtokro batik yang terletak di Bakaran Wetan. Wawancara juga tim penulis lakukan dengan Bapak Bukhari sebagai pemilik Griya Batik Tjokro di Bakaran Wetan. Sedangkan dalam kegiatan dokumentasi, tim penulis terjun langsung ke lapangan dan mengabadikan di daerah sekitar serta di dalam griya batik tjokro.

4. Kajian Data
Kajian data tim penulis lakukan berdasarkan data primer (data yang berasal dari narasumber).
5. Instrument yang Digunakan
Tim penulis menggunakan pedoman wawancara sebagai salah satu instrument yang digunakan dalam kegiatan penelitian.
6. Objek yang diobservasi
Objek yang diobservasi oleh tim penulis adalah Griya Batik Bakaran.
7. Analisis data
Cara yang digunakan oleh tim penulis untuk menulis analisis data adalah dengan cara analisis deskriptif.








BAB IV
PEMBAHASAN

A. Sejarah batik
1. Sejarah Batik Indonesia
Berdasarkan kajian pustaka yang dilakukan oleh tim penulis, analisis tentang Batik Bakaran dapat dilihat dari berbagai segi, yakni segi historis dan arkeologis.
1. Segi historis
Batik secara historis berawal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.
2. Segi arkeologis
Dilihat dari segi arkeologis, seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.
Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat batik.
G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.
Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa. Oleh beberapa penafsir, serasah itu ditafsirkan sebagai batik.
Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.
Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.
2. Sejarah Batik Bakaran
Batik Bakaran,yang sekarang terpusat pada kedua desa yaitu Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon yang masuk kedalam wilayah kecamatan Juwana sudah ada sekitar abad ke 14 dan berhubungan dengan seorang penjaga benda–benda seni kerajaan Majapahit yang bernama Nyi Siti Sabirah (Nyi Danowati) yang ketika itu datang di Desa Bakaran Wetan karena misi pelarian untuk mencari tempat persembunyian, saat beliau dikejar – kejar oleh tentara Islam karena keruntuhan kerajaan majapahit yang terdesak oleh kekuasaan kerajaan Islam Pertama di Pulau jawa yaitu Demak.
Dan pada akhirnya beliau bersembunyi di Desa Bakaran Wetan dan dalam penyamarannya beliau membuat langgar tanpa mighraf yang sampai sekarang disebut Sigit yang bertujuan supaya beliau dikira sudah memeluk agama Islam.Semasa persembunyiannya di Desa Bakaran Wetan, kegiatan beliau sehari–hari adalah membatik sekaligus mengajarkan keahliannya membatik,dengan keahliannya tersebut beliau mengajarkan cara membatik kepada anak cucunya sehingga keahliannya tersebut menurun ke anak cucunya sampai sekarang ini.



B. Tjokro Batik Tulis Bakaran
1. Tjokro Batik Tulis Bakaran
Tjokro Batik Tulis berdiri pada tahun 1977, Nama "Tjokro" Berasal dari Nama kakek kami yaitu "Tjokro Satmoko", diawali warisan budaya batik tradisional desa Bakaran dan berawal dari usaha kecil yang dirilis oleh Bpk Bukhari Wiryo Satmoko untuk melestarikan budaya dan seni batik tulis di desa Bakaran, kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kami dari awalnya memang sudah memiliki warisan dari nenek moyang kami sebuah batik yang memiliki ciri dan motif khas yang tidak dimiliki batik-batik lain di Indonesia. Ciri yang mendominasi adalah warna hitam,biru tua ,putih dan coklat tua atau istilah jawanya "gosong" pada warna sogan pada batik klasik dan warna cerah pada batik modern, sedangkan motif dan coraknya merupakan corak asli daerah yang banyak dipengaruhi budaya kerajaan majapahit. Batik Tulis Tjokro juga menonjolkan aspek-aspek budaya pesisir utara jawa.
Batik Tulis Tjokro mampu menjaga eksistensi dalam industri Batik dengan tetap menjaga kualitas produk. Dengan penggunaan bahan-bahan dasar berkualitas tinggi serta bahan pewarnaan sintesis modern, sehingga produk batik yang kami hasilkan mampu awet, warna tidak cepat pudar dan tidak mudah sobek tanpa mengurangi hasil batik yang elegan dan bernilai seni tinggi.
Tjokro Batik Tulis Bakaran merupakan salah satu budaya batik asli warisan bangsa Indonesia.
2. Pendiri Tjokro Batik Tulis Bakaran
Bukhari Wiryo Satmoko, pendiri batik tulis 'Tjokro' berasal dan tinggal di jalan Mangkudipuro, No 196, RT 02/RW II, Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Pria yang belum lama menerima anugerah penghargaan berupa anugerah Upakarti kategori Jasa Pelestarian dari Presiden RI pada tanggal 7 Januari 2009. Dia memang selayaknya memperoleh penghargaan atas kerja kerasnya selama ini. Sebuah anugerah di bidang pelestarian seni dan budaya tahun 2008 ini diberikan atas jasa-jasa putra asli daerah. Bukhari memang layak mendapat penghargaan karena dirinya mampu mengangkat batik tulis bakaran, yang menjadi ciri khas kerajinan batik asal Kabupaten Pati. Keuletan, serta kreatifitasnya yang tinggi, membuatnya dirinya mendapat pengakuan publik sejak merintis batik ini tahun 1977.
Terlahir sebagai putra ragil dari 12 bersaudara, pasangan (alm) Sutarsih dan (alm) Panggih Rono Dwiryo ini, Bukhari berhasil mewarisi kepiawaian ibundanya menjadi perajin batik. Sebuah ketrampilan yang makin jarang dimiliki warga Pati sendiri kala itu. Sejak mulai dekat dengan batik pada tahun 1977, boleh dibilang dirinya sempat mengalami masa kejayaan. Kendati batik tulis khas Bakaran ini belum banyak modifikasi pewarnaan dan sebagainya. Pengetahuan tentang batik diperoleh hanya berdasar pengalaman turun temurun. Baru sekitar tahun 1983, Pemkab Pati dalam hal ini Dinas Perdagangan dan Peindustrian Kabupaten Pati membekali para perajin dengan berbagai ilmu perbatikan. Termasuk memberikan penyuluhan dan keterampilan melalui diklat-diklat.
Namun, dirinya juga tak habis mengerti, manakala pada 1983, istrinya yang menimba pengalaman dari pemkab ini, justru usahanya tidak mengalami perkembangan. Baru kemudian setelah tahun 1985 Bukhari sendiri yang mengikuti diklat. Dari sini pula dirinya merasa terpacu untuk mengikuti diklat dan bimbingan yang diberikan. Berbekal dari pengetahuan dan kerja kerasnya tersebut, reputasi batik Bakaran akhirnya secara perlahan mulai terangkat. Membaiknya usaha ini mulai terlihat pada tahun 1994. Bahkan saat itu dirinya sudah memiliki 20 orang karyawan.
Atas prestasinya mengembangkan bati Bakaran, Bukhari memperoleh penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah ketika itu, berupa Biasana Bhakti Upapradana. Bukhari terpilih sebagai pelestari budaya untuk tingkat Provinsi Jawa Tengah. Tak hanya itu, pada tahun 1998 ia diusulkan untuk menerima penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto. Namun karena negara sedang mengalami masa transisi, yakni lahirnya era reformasi, penghargaan yang akan diberikan terkendala dan akhirnya dibatalkan. Penghargaan ini, akhirnya kembali menghampirinya pada tahun 2008 ini. Dimana Bukhari diajukan kembali untuk menerima Upakarti.
Pria berusia 57 tahun ini pun mengaku, sesungguhnya dia tak memiliki bekal pendidikan tinggi. Jenjang pendidikan yang dilalui memang hanya mentok di tingkat SMP. Impiannya melanjutkan sekolah ke STM di Semarang kandas, lantaran keterbatasan biaya. Hanya sempat menikmati 3 bulan bangku STM, selebihnya dia harus angkat kaki. Sedangkan kemampuannya mengembangkan batik. Tak lepas dari niat dan kemauannya yang keras.
C. Pengaruh Agama Hindu, Budha dan Islam Terhadap Perkembangan Batik Indonesia
1. Pengaruh Agama Hindu dan Budha
Berkembangnya seni Batik tidak terlepas dari pengaruh perkembangan agama Hindu terutama apabila dikaitkan dengan motif batik. Hal ini ditegaskan oleh Sutjipto Wirjosuparto, bahwa sebelum pedagang dari India mengenalkan Batik di Nusantara, masyarakat Indonesia sudah mengenal terlebih dahulu tentang Batik. namun demikian bukti artefak batik tersebut sampai sekarang belum ditemukan.
Ketika budaya India yang dibawa oleh para pedagang dan penyiar agama Hindu membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat nusantara, keberadaan batik makin berkembang. Pada masa kerajaan Sriwijaya abad ke 8 dan Zaman Mataram Hindu terlihat perkembangan batik yang ditandai dengan ditemukannya artefak prasasti maupun arca yang membicarakan pakaian batik (Wibawa: 1996: 1)
Salah satu prasasti yang membicarakan tentang batik diantaranya adalah Pasasti Gandakuti. Prasast Gandakuti dikeluarkan oleh Aji Paduka Mpungku sang Pinakacatranning Bhuwana berangka tahun 964C (1042M). Pada prasasti tersebut terdapat uraian tentang dodot atau kain pada lempengan ke dua yaitu yang berbunyi:
2.a“... adodota tunjun jo kuiit sadangan nawagraha paslih galuh...”
Artinya:
2.a“...memakai pakaian bercorak bunga tunjung hijau kunyit sadangan, bunga,pasilih galuh (Wibawa:1996:2)

Sementara itu, data artefak arca di Jawa tengah yag memperlihatkan pakaian batik diantaranya dijumpai arca Siwa di dekat candi dieng maupun candi Prambanan. Motif-motif lainnya seperti Kawung, lereng dan lain-lain juga tersebar diberbagai arca di Jawa Timur.
Sedangkan apabila dikaitkan dengan salah satu nama dari suau wilayah seperti Grinsing di Batang, maka kemungkinan motif gringsing dapat dilacak dari motif-motif yang ada arca Vasudra yaitu dilihat dari motif Padmasana atau tempat duduk Vasudara.
Keterkaitan antara agama Hindu dengan batik akan tampak lagi bila dilihat dari kosepsi warna pada kain batik.Warna batik klasik pada umumnya terdiri dari tiga warna yaitu coklat yang identik dengan merah; biru yang identik dengan warna hitam dan kuning atau coklat muda yang identik dengan warna putih. Ketiga warna tersebut merupakan konsepsi Dewa Hindu yaitu Trimurti. Kuswadji Kawindrosusanto menyebutkan bahwa Coklat atau merah lambang Dewa Brahma atau lambang keberanian, Biru atau hitam lambang Dewa Wisnu atau lambang ketenangan dan kuning atau putih lambang Dewa Syiwa (Yahya, 1985, 11)

2. Pengaruh Agama Islam
Agama Islam secara tidak langsung memberi pengaruh terhadap kehidupan suatu masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Pengaruh agama tersebut tampak juga terhadap seni batik. Melalui rasa jiwa seni yang tinggi pada diri para seniman, ajaran Islam yang memberlakukan ketentuan dengan ketat diolah sedemikian rupa sehingga dapat dinikmati masyarakat dengan senang hati.
Keahlian seniman tersebut tampak terlihat dari hasil karya dengan gaya ornamentis dan kaligrafis yang diambilkan dari huruf-huruf Arab maupun pengolahan bentuk makhluk hidup yang disamarkan dengan motif suluran. Bentuk gaya ornamentis seperti manusia, pohon beringin, rumah, dan gunungan disamarkan menjadi bentuk tumbuhan.
Gaya-gaya berfilosofi Hindu seperti kawung, motif pada candi diolah menjadi motif yang lebih natural. Gaya motif batik tersebut banyak tersebar di daerah Lasem, Pekalongan, Batang, dll.




























BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan uraian dalam karya tulis ini maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu :
1. ....
2. Batik Bakaran merupakan warisan budaya masyarakat Jawa Tengah yang terletak di Desa Bakaran, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
3. Walaupun Batik Bakaran Wetan hanya disebar luaskan dari mulut ke mulut, tetapi tetap saja terkenal luas karena pewarna kainya tidak mudah luntur, motifnya banyak disukai serta kain batiknya yang halus.

B. Saran
1. Penulis mempunyai saran bagi pelajar dan masyarakat umum untuk bisa mencintai produk dalam negeri seperti batik, agar batik tidak diklame oleh negara lain.
2. Selalu menggunakan batik di acara formal maupun non formal.
3. Kita harus melestarikan budaya bangsa kita.









DAFTAR PUSTAKA

1. Sugono, Dendy,dkk. 2008.Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta:Pusat Bahasa.
2. Wahono,dkk.2004.Gaya Ragam Hias Batik (Tinjauan Makna dan
Simbol).Semarang.
3. Tanpa Nama. Pengertian Budaya. http://id.wikipedia.org/wiki/
(diunduh 14 September 2010 pukul 12.30)
4. Tanpa Nama. Pengertian Batik. http://id.wikipedia.org/wiki/
(diunduh 14 September 2010 pukul 12.30)
5. Tanpa Nama. Pengertian Budaya. http://id.wikipedia.org/wiki/
(diunduh 14 September 2010 pukul 12.30)
6. Tanpa Nama. Pengertian Warisan. http://id.wikipedia.org/wiki/
(diunduh 14 September 2010 pukul 12.30)
7. Satmoko, Bukhari Wiryo. Sejarah Batik Bakaran.
http://tjokrobatikbakaran.blogspot.com
(diunduh 15 September 2010 pukul 09.30)
8. Satmoko, Bukhari Wiryo. Tjokro Batik Bakaran.
http://tjokrobatikbakaran.blogspot.com
(diunduh 15 September 2010 pukul 09.30)
9. Satmoko, Bukhari Wiryo. Pendiri Tjokro Batik Bakaran.
http://tjokrobatikbakaran.blogspot.com
(diunduh 15 September 2010 pukul 09.30)
10. Tanpa Nama. Sejarah Batik Indonesia.
http://www.batikmarkets.com
(diunduh 15 September 2010 pukul 09.30)

Minggu, 18 April 2010

KETERAMPILAN MENULIS

Penggunaan istilah menulis dan mengarang merupakan dua hal yang dianggap sama pengertiannya oleh sebagian ahli dan berbeda oleh sebagian ahli lainnya. Di dalam penelitian ini, kedua istilah tersebut penggunaannya dipandang bersinonim. Oleh karena itu, keduanya dapat saling menggantikan. Dilihat dari segi bentuk atau cara penyajiannya, apakah karangan itu puisi atau prosa, kalau prosa apakah penyajiannya itu narasi, eksposisi, deskripsi, atau argumentasi/persuasi.
Sebagai salah satu aspek dari keterampilan berbahasa, menulis atau mengarang merupakan kegiatan yang kompleks. Kompleksitas menulis terletak pada tuntutan kemampuan untuk menata dan mengorganisasikan ide secara runtut dan logis, ..
Argumentasi adalah jenis paragraf yang berusaha untuk meyakinkan pembaca mengenai kebenaran yang disampaikan penulisnya.
Persuasi adalah jenis paragraf yang ditujukan untuk memengaruhi pendapat dan sikap pembaca mengenai sesuatu hal yang
Pada akhir paragraf atau karangan, perlu disajikan kesimpulan. Kesimpulan ini yang membedakan argumentasi dari eksposisi. Menyetop bola dengan dada dan kaki dapat ia lakukan secara sempurna. Tembakan kaki kanan dan kiri tepat arahnya

JENIS KARANGAN DAN LANGKAH-LANGKAH MENGARANG JENIS KARANGAN

Deskripsi Narasi Eksposisi Argumentasi Persuasi
1. DESKRIPSI: Karangan ini berisi gambaran mengenai suatu hal/ keadaan sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar,

Teori menulis atau mengarang, memang mudah. Gampang dihafal. Tetapi, menulis atau mengarang bukanlah sekedar teori, melainkan keterampilan. Bahkan, ada seni atau art di dalamnya. Teori hanyalah alat untuk mempercepat pemilikan kemampuan seseorang Karangan dapat disajikan kedalam lima bentuk atau ragam wacana, yaitu : deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi. 1. Deskripsi Deskripsi adalah ragam wacana yang melukiskan atau menggambarkan suatu berdasarkan
Paragraf Eksposisi Karangan ini berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik dengan tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Untuk memperjelas uraian, dapat dilengkapi dengan grafik, Paragraf Persuasi Karangan ini bertujuan mempengaruhi pembaca untuk berbuat sesuatu. Dalam persuasi pengarang mengharapkan adanya sikap motorik berupa perbuatan yang dilakukan oleh pembaca sesuai dengan yang dianjurkan penulis dalam karangannya.
Contoh: mengarang, pengarang mengganggu, pengganggu menghasut, penghasut mengkhianati, pengkhianat mengatur, pengatur mengekor, pengekor menginap, penginap mengobati, pengobatan mengukur, pengukur (e) Imbuhan meN- dan peN- menjadi meny- dan .. 1.Topik dan Judul Karangan 2.Kerangka Karangan 3.Penggolongan Karangan (1) Menurut Bobot Isi a. Karangan Ilmiah, b. Semiilmiah c. Nonilmiah (2) Menurut Cara Penyajian a. Deskripsi d. Persuasi b. Eksposisi e. Narasi c. Argumentasi
Memperdayakan siswa untuk mampu menulis atau mengarang diperlukan pendekatan yang komunikatif dengan menempatkan siswa sebagai subjek belajar yang harus dibina kemampuan komunikasinya, baik komunikasi secara formal maupun nonformal. Hal ini bisa dimungkinkan apabila diberikan Keraf (1980:104) menguraikan jenis-jenis karangan sebagai berikut: “(1) karangan argumentasi, (2) karangan eksposisi, (3) karangan persuasi, (4) karangan deskripsi, dan (5) karangan narasi”
Mengarang merupakan buah pikiran melalui tulisan, namun bukan asal menulis. Orang harus belajar menyusun karangan yang baik dan teratur, mengandung isi, dan dikemukakan secara sistematik dan menarik. . Strategi Argumentasi. Strategi ini mengasumsikan bahwa setidaknya ada dua sisi yang muncul ke permukaan dari suatu isu. Pesan yang disampaikan umumnya bersifat persuasif dan diarahkan pada pembaca yang sudah mengenal dan tertarik pada isu tersebut.

LANGKAH-LANGKAH MENGARANG
Oleh: Masnur Muslich
JENIS KARANGAN: Deskripsi Narasi Eksposisi Argumentasi Persuasi
1. DESKRIPSI: Karangan ini berisi gambaran mengenai suatu hal/ keadaan sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar,

Senin, 07 Desember 2009

Mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam KTSP merupakan Sebuah Pelajaran

Posted on 06 July 2009 by admin

KATA PENGANTAR

Mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam KTSP merupakan sebuah pelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan sikap dan perilaku positif dalam berbahasa, khususnya bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang terdiri atas empat keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis) menjadi sebuah mata pelajaran yang aktif produktif. Artinya, dalam pembelajaran bahasa siswa tidak hanya berkutat pada konstrak teori bahasa, tetapi ditekankan pada sikap dan pemakaian bahasa yang kontekstual. Kompetensi dasar yang terdapat dalam standar isi dijabarkan dalam model-model pembelajaran yang kontekstual, melibatkan pengalaman siswa.

Siswa dijadikan subjek pada proses pembelajaran bahasa Indonesia dalam buku ini. Artinya, proses pembelajaran terfokus pada aktivitas berbahasa siswa yang meliputi berbagai aspek keterampilan berbahasa. Dalam satu kompetensi dasar yang dipelajari, siswa diajak untuk melakukan berbagai keterampilan berbahasa pada konteks tertentu. Selain itu, proses pembelajaran juga melibatkan pengalaman siswa dengan materi yang dekat dengan kehidupan mereka.

Dengan demikian, siswa lebih mudah untuk memahami dan mengaplikasikan kompetensi dasar yang dipelajari. Pendekatan active learning yang diterapkan dalam buku ini dilengkapi dengan model-model pembelajaran yang bervariasi sehingga siswa tidak merasa bosan.

Pada sisi lain, siswa justru merasa tertantang untuk menguasai kompetensi demi kompetensi dasar yang disajikan. Hal ini terjadi karena sebelum memasuki materi, siswa diberi apersepsi yang berkaitan dengan pengalaman mereka yang dikaitkan dengan materi dan manfaat kompetensi dasar yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, terutama profesi yang berkaitan dengan kompetensi dasar yang dipelajari.Kehadiran buku ini diharapkan dapat menggantikan posisi guru di dalam kelas sehingga siswa dapat belajar kapan dan di mana saja. Selain itu, pembelajaran yang berbasis lingkungan juga memungkinkan siswa untuk mempelajari materi dan sekaligus berinteraksi dengan masyarakat dalam konteks keterampilan berbahasa.

Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat dan memberi kontribusi dalam proses pendidikan di Indonesia. Kami sadar, masih terdapat banyak kelemahan dalam penyusunan buku ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan untuk menyempurnakan kehadiran buku ini.

Yogyakarta, 30 September 2007

Penulis,

PENDAHULUAN

Buku ini merupakan buku yang dirancang khusus sebagai teman belajar siswa. Di dalam buku ini, siswa diarahkan untuk mampu belajar secara mandiri atau berkelompok, baik pada situasi pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Oleh karena itu, penyajian di dalamnya memungkinkan siswa belajar secara mandiri tanpa bergantung terhadap guru. Buku ini disajikan secara tematik. Artinya, di dalamnya terdapat beberapa unit (bab) yang masing-masing berisi tema tertentu. Setiap unit yang diikat oleh sebuah tema tertentu terdiri atas beberapa kompetensi dasar. Kompetensi dasar ini diturunkan dari Standar Isi yang telah disusun oleh BSNP. Penempatan setiap Kompetensi Dasar pada masing-masing unit diurutkan berdasarkan tingkat kesulitan masing-masing kompetensi, yaitu dari kompetensi yang mudah ditempatkan pada unit awal dan kompetensi yang sulit ditempatkan pada unit selanjutnya.

Dengan demikian, penguasaan konsep oleh siswa berjalan secara bertahap, dari konsep yang mudah, kemudian baru dilanjutkan pada konsep yang lebih sulit, dan seterusnya. Kompetensi dasar pada sebuah unit pembelajaran menjadi sebuah subbab, sehingga setiap unit dalam buku ini terdiri atas beberapa subbab. Agar kompetensi dasar yang sudah ditetapkan dalam Standar Isi dapat benar-benar dikuasai oleh siswa, penyajiannya dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat dengan mudah menguasai konsep setiap kompetensi dasar, dan selanjutnya meng-aplikasikan konsep yang sudah dikuasai tersebut dalam sebuah perilaku atau tindakan.

Pembelajaran setiap kompetensi dasar disajikan secara bervariasi dan simultan berdasarkan empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Namun demikian, tidak setiap kompetensi dasar dapatdijabarkan menjadi empat keterampilan berbahasa tersebut. Pada kenyataannya, setiap kompetensi dasar ada yang dapat dimanifestasikan menjadi 2 keterampilan berbahasa saja, 3 keterampilan berbahasa, dan 4 keterampilan berbahasa, bergantung pada kompetensi dasar yang harus diajarkan kepada siswa. Dengan kata lain, setiap kompetensi dasar disajikan dalam bentuk-bentuk pembelajaran yang berbeda, tetapi saling melengkapi. Dengan demikian penguasaan siswa terhadap kompetensi dasar tersebut bersifat holistik.

Pembelajaran setiap kompetensi dasar didahului dengan apersepsi. Apersepsi ini berfungsi untuk menghubungkan pengetahuan sebelumnya yang sudah viii diperoleh siswa dengan kompetensi dasar yang akan dipelajari. Dengan demikian, penguasaan kompetensi dasar bermula dari pengalaman siswa sehingga penguasaannya bersifat bottom up dan sesuai dengan konteks pemahaman siswa. Selain itu, apersepsi juga berfungsi untuk membangkitkan gairah belajar siswa agar dengan sadar mau mempelajarinya. Pada situasi ini, apersepsi dibuat untuk mengantar manfaat (kegunaan) kompetensi dasar yang harus dikuasai dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, kompetensi dasar melakukan wawancara, apersepsinya diarahkan pada manfaat kompetensi tersebut di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan menguasai kompetensi dasar melakukan wawancara dengan baik, siswa nantinya dapat menjadi seorang wartawan, dan sebagainya.

Dengan demikian, siswa memperoleh gambaran kebermanfaatan kompetensi yang akan dikuasai sehingga secara sadar mereka akan mempelajarinya. Sebagai buku yang berorientasi pada siswa, setiap kompetensi dasar dalam buku ini disajikan agar siswa mampu mendapatkan konsep sendiri melalui serangkaian kegiatan pembelajaran yang sudah disusun dengan memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi juga di rumah dan pengamatan lingkungan (seperti: perpustakaan, museum, tempat wisata, fasilitas umum, dan sebagainya). Pada akhir setiap kompetensi dasar selalu disertai dengan tugas rumah atau sejenisnya yang ditujukan pada penguasaan aplikasi kompetensi dasar yang sudah dipelajari oleh siswa. Untuk mengukur penguasaan kompetensi dasar, siswa diarahkan agar mampu melakukan penilaian antarsiswa sehingga setiap siswa baik dalam bentuk kerja mandiri maupun kelompok dikondisikan untuk dapat menilai kompetensi yang sudah dikuasai oleh siswa lain.

Pada akhir unit, siswa juga diingatkan pada bentuk-bentuk kompetensi dasar yang sudah mereka kuasai. Hal ini diharapkan agar mereka benar-benar menguasai kompetensi dasar yang dipelajari, baik dari segi konseptual maupun aplikasinya.

Senin, 23 November 2009

Lesson Study Bahasa Indonesia

CARA MUDAH MELAKSANAKAN LESSON STUDY
Oleh Suyatno]
Pernahkah Anda sebagai guru saat mengajar didampingi guru lain? Pernahkah sebelum mengajar Anda merencanakan pengelolaan kelas secara rinci dan detail kemudian hasil di kelas dievaluasi bersama siswa? Pernahkah Anda setelah mengajar diberi komentar para siswa? Jika pernah, sebenarnya Anda sudah melakukan Lesson Study.Lesson Study semata-mata untuk meningkatkan kinerja guru dalam memimpin kelas agar tidak pernah berhenti berkreasi. Banyak guru yang tidak pernah tahu dan tidak pernah paham tentang realitas mengajarnya karena tidak ada yang memberikan umpan balik. Nah, Lesson Study berupaya membiasakan guru untuk senantiasa merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran yang dilaksanakannya.
Lesson Study pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, yang dalam bahasa Jepang-nya disebut dengan istilah kenkyuu jugyo. Makoto Yoshida, orang yang dianggap berjasa besar dalam mengembangkan kenkyuu jugyo di Jepang. Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan Lesson Study diikuti pula oleh beberapa negara lain, termasuk di Amerika Serikat yang secara gigih dikembangkan dan dipopulerkan oleh Catherine Lewis yang telah melakukan penelitian tentang Lesson Study di Jepang sejak tahun 1993.
Indonesia pun saat ini mulai gencar melaksanakan Lesson Study sebagai sebuah model dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran siswa, bahkan pada beberapa sekolah sudah mulai dipraktikkan. yang perlu diperhatikan dengan tegas adalah Lesson Study bukanlah suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi merupakan salah satu upaya pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melaporkan hasil pembelajaran. Lesson Study bukan sebuah proyek sesaat, tetapi merupakan kegiatan terus menerus yang tiada henti dan merupakan sebuah upaya untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip dalam Total Quality Management, yakni memperbaiki proses dan hasil pembelajaran siswa secara terus-menerus, berdasarkan data.
Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning society) yang secara konsisten dan sistematis melakukan perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial. Slamet Mulyana (2007) memberikan rumusan tentang Lesson Study sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-psrinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.
Sementara itu, Catherine Lewis (2002) menyebutkan bahwa: “lesson study is a simple idea. If you want to improve instruction, what could be more obvious than collaborating with fellow teachers to plan, observe, and reflect on lessons? While it may be a simple idea, lesson study is a complex process, supported by collaborative goal setting, careful data collection on student learning, and protocols that enable productive discussion of difficult issues”.Bill Cerbin & Bryan Kopp mengemukakan bahwa Lesson Study memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu untuk :
(1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru
mengajar;
(2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru lainnya, di luar
peserta Lesson Study;
(3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif.
(4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba
pengetahuan dari guru lainnya.
Dalam tulisannya yang lain, Catherine Lewis (2004) mengemukakan pula tentang ciri-ciri esensial dari Lesson Study, yang diperolehnya berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa sekolah di Jepang, yaitu:Tujuan bersama untuk jangka panjang. Lesson study didahului adanya kesepakatan dari para guru tentang tujuan bersama yang ingin ditingkatkan dalam kurun waktu jangka panjang dengan cakupan tujuan yang lebih luas, misalnya tentang: pengembangan kemampuan akademik siswa, pengembangan kemampuan individual siswa, pemenuhan kebutuhan belajar siswa, pengembangan pembelajaran yang menyenangkan, mengembangkan kerajinan siswa dalam belajar, dan sebagainya.
Materi pelajaran yang penting.
Lesson study memfokuskan pada materi atau bahan pelajaran yang dianggap penting dan menjadi titik lemah dalam pembelajaran siswa serta sangat sulit untuk dipelajari siswa. Studi tentang siswa secara cermat. Fokus yang paling utama dari Lesson Study adalah pengembangan dan pembelajaran yang dilakukan siswa, misalnya, apakah siswa menunjukkan minat dan motivasinya dalam belajar, bagaimana siswa bekerja dalam kelompok kecil, bagaimana siswa melakukan tugas-tugas yang diberikan guru, serta hal-hal lainya yang berkaitan dengan aktivitas, partisipasi, serta kondisi dari setiap siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian, pusat perhatian tidak lagi hanya tertuju pada bagaimana cara guru dalam mengajar sebagaimana lazimnya dalam sebuah supervisi kelas yang dilaksanakan oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah.
Observasi pembelajaran secara langsung.
Observasi langsung boleh dikatakan merupakan jantungnya Lesson Study. Untuk menilai kegiatan pengembangan dan pembelajaran yang dilaksanakan siswa tidak cukup dilakukan hanya dengan cara melihat dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Lesson Plan) atau hanya melihat dari tayangan video, namun juga harus mengamati proses pembelajaran secara langsung. Dengan melakukan pengamatan langsung, data yang diperoleh tentang proses pembelajaran akan jauh lebih akurat dan utuh, bahkan sampai hal-hal yang detail sekali pun dapat digali. Penggunaan videotape atau rekaman bisa saja digunakan hanya sebatas pelengkap, dan bukan sebagai pengganti.
Berdasarkan wawancara dengan sejumlah guru di Jepang, Caterine Lewis mengemukakan bahwa Lesson Study sangat efektif bagi guru karena telah memberikan keuntungan dan kesempatan kepada para guru untuk dapat:
(1) memikirkan secara lebih teliti lagi tentang tujuan, materi tertentu yang akan dibelajarkan
kepada siswa,
(2) memikirkan secara mendalam tentang tujuan-tujuan pembelajaran untuk kepentingan masa
depan siswa, misalnya tentang arti penting sebuah persahabatan, pengembangan perspektif
dan cara berfikir siswa, serta kegandrungan siswa terhadap ilmu pengetahuan,
(3) mengkaji tentang hal-hal terbaik yang dapat digunakan dalam pembelajaran melalui belajar
dari para guru lain (peserta atau partisipan Lesson Study),
(4) belajar tentang isi atau materi pelajaran dari guru lain sehingga dapat menambah
pengetahuan tentang apa yang harus diberikan kepada siswa,
(5) mengembangkan keahlian dalam mengajar, baik pada saat merencanakan pembelajaran
maupun selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran,
(6) membangun kemampuan melalui pembelajaran kolegial, dalam arti para guru bisa saling
belajar tentang apa-apa yang dirasakan masih kurang, baik tentang pengetahuan maupun
keterampilannya dalam membelajarkan siswa, dan
(7) mengembangkan “The Eyes to See Students” (kodomo wo miru me), dalam arti dengan
dihadirkannya para pengamat (obeserver), pengamatan tentang perilaku belajar siswa bisa
semakin detail dan jelas.
Sementara itu, menurut Lesson Study Project (LSP) beberapa manfaat lain yang bisa diambil dari Lesson Study, diantaranya:
(1) guru dapat mendokumentasikan kemajuan kerjanya,
(2) guru dapat memperoleh umpan balik dari anggota/komunitas lainnya, dan
(3) guru dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari Lesson Study.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, manfaat yang ketiga ini dapat dijadikan sebagai salah satu Karya Tulis Ilmiah Guru, baik untuk kepentingan kenaikan pangkat maupun sertifikasi guru. Terkait dengan penyelenggaraan Lesson Study, Slamet Mulyana (2007) mengetengahkan tentang dua tipe penyelenggaraan Lesson Study, yaitu Lesson Study berbasis sekolah dan Lesson Study berbasis MGMP. Lesson Study berbasis sekolah dilaksanakan oleh semua guru dari berbagai bidang studi dengan kepala sekolah yang bersangkutan. dengan tujuan agar kualitas proses dan hasil pembelajaran dari semua mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan dapat lebih ditingkatkan. Sedangkan Lesson Study berbasis MGMP merupakan pengkajian tentang proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh kelompok guru mata pelajaran tertentu, dengan pendalaman kajian tentang proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu, yang dapat dilaksanakan pada tingkat wilayah, kabupaten atau mungkin bisa lebih diperluas lagi.
Dalam hal keanggotaan kelompok, Lesson Study Reseach Group dari Columbia University menyarankan cukup 3-6 orang saja, yang terdiri unsur guru dan kepala sekolah, dan pihak lain yang berkepentingan. Kepala sekolah perlu dilibatkan terutama karena perannya sebagai decision maker di sekolah. Dengan keterlibatannya dalam Lesson Study, diharapkan kepala sekolah dapat mengambil keputusan yang penting dan tepat bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolahnya, khususnya pada mata pelajaran yang dikaji melalui Lesson Study. Selain itu, dapat pula mengundang pihak lain yang dianggap kompeten dan memiliki kepedulian terhadap pembelajaran siswa, seperti pengawas sekolah atau ahli dari perguruan tinggi.
Tahapan-Tahapan Lesson StudyMenurut Wikipedia (2007) bahwa Lesson Study dilakukan melalui empat tahapan dengan menggunakan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA). Sementara itu, Slamet Mulyana (2007) mengemukakan tiga tahapan dalam Lesson Study, yaitu :
(1) Perencanaan (Plan);
(2) Pelaksanaan (Do) dan
(3) Refleksi (See).
Sedangkan Bill Cerbin dan Bryan Kopp dari University of Wisconsin mengetengahkan enam tahapan dalam Lesson Study, yaitu:
Form a Team:
membentuk tim sebanyak 3-6 orang yang terdiri guru yang bersangkutan dan pihak-pihak lain yang kompeten serta memilki kepentingan dengan Lesson Study.
Develop Student Learning Goals:
anggota tim memdiskusikan apa yang akan dibelajarkan kepada siswa sebagai hasil dari Lesson Study.
Plan the Research Lesson:
guru-guru mendesain pembelajaran guna mencapai tujuan belajar dan mengantisipasi bagaimana para siswa akan merespons.
Gather Evidence of Student Learning:
salah seorang guru tim melaksanakan pembelajaran, sementara yang lainnya melakukan pengamatan, mengumpulkan bukti-bukti dari pembelajaran siswa.
Analyze Evidence of Learning:
tim mendiskusikan hasil dan menilai kemajuan dalam pencapaian tujuan belajar siswa
Repeat the Process:
kelompok merevisi pembelajaran, mengulang tahapan-tahapan mulai dari tahapan ke-2 sampai dengan tahapan ke-5 sebagaimana dikemukakan di atas, dan tim melakukan sharing atas temuan-temuan yang ada.
Berikut diuraikan secara ringkas tentang empat tahapan dalam penyelengggaraan Lesson Study
1. Tahapan Perencanaan (Plan)
Dalam tahap perencanaan, para guru yang tergabung dalam Lesson Study berkolaborasi untuk menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, seperti tentang: kompetensi dasar, cara membelajarkan siswa, mensiasati kekurangan fasilitas dan sarana belajar, dan sebagainya, sehingga dapat ketahui berbagai kondisi nyata yang akan digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Selanjutnya, secara bersama-sama pula dicarikan solusi untuk memecahkan segala permasalahan ditemukan. Kesimpulan dari hasil analisis kebutuhan dan permasalahan menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan RPP, sehingga RPP menjadi sebuah perencanaan yang benar-benar sangat matang, yang didalamnya sanggup mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi selama pelaksanaan pembelajaran berlangsung, baik pada tahap awal, tahap inti sampai dengan tahap akhir pembelajaran.
2. Tahapan Pelaksanaan (Do)
Pada tahapan yang kedua, terdapat dua kegiatan utama yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru yang disepakati atau atas permintaan sendiri untuk mempraktikkan RPP yang telah disusun bersama, dan (2) kegiatan pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh anggota atau komunitas Lesson Study yang lainnya (baca: guru, kepala sekolah, atau pengawas sekolah, atau undangan lainnya yang bertindak sebagai pengamat/observer) Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tahapan pelaksanaan, diantaranya:Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disusun bersama. Siswa diupayakan dapat menjalani proses pembelajaran dalam setting yang wajar dan natural, tidak dalam keadaan under pressure yang disebabkan adanya program Lesson Study.
Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, pengamat tidak diperbolehkan mengganggu jalannya kegiatan pembelajaran dan mengganggu konsentrasi guru maupun siswa. Pengamat melakukan pengamatan secara teliti terhadap interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru, siswa-lingkungan lainnya, dengan menggunakan instrumen pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya dan disusun bersama-sama. Pengamat harus dapat belajar dari pembelajaran yang berlangsung dan bukan untuk mengevalusi guru. Pengamat dapat melakukan perekaman melalui video camera atau photo digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan analisis lebih lanjut dan kegiatan perekaman tidak mengganggu jalannya proses pembelajaran. Pengamat melakukan pencatatan tentang perilaku belajar siswa selama pembelajaran berlangsung, misalnya tentang komentar atau diskusi siswa dan diusahakan dapat mencantumkan nama siswa yang bersangkutan, terjadinya proses konstruksi pemahaman siswa melalui aktivitas belajar siswa. Catatan dibuat berdasarkan pedoman dan urutan pengalaman belajar siswa yang tercantum dalam RPP.
3. Tahapan Refleksi (Check)
Tahapan ketiga merupakan tahapan yang sangat penting karena upaya perbaikan proses pembelajaran selanjutnya akan bergantung dari ketajaman analisis para perserta berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi yang diikuti seluruh peserta Lesson Study yang dipandu oleh kepala sekolah atau peserta lainnya yang ditunjuk. Diskusi dimulai dari penyampaian kesan-kesan guru yang telah mempraktikkan pembelajaran, dengan menyampaikan komentar atau kesan umum maupun kesan khusus atas proses pembelajaran yang dilakukannya, misalnya mengenai kesulitan dan permasalahan yang dirasakan dalam menjalankan RPP yang telah disusun.Selanjutnya, semua pengamat menyampaikan tanggapan atau saran secara bijak terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan (bukan terhadap guru yang bersangkutan). Dalam menyampaikan saran-saranya, pengamat harus didukung oleh bukti-bukti yang diperoleh dari hasil pengamatan, tidak berdasarkan opininya.
Berbagai pembicaraan yang berkembang dalam diskusi dapat dijadikan umpan balik bagi seluruh peserta untuk kepentingan perbaikan atau peningkatan proses pembelajaran. Oleh karena itu, sebaiknya seluruh peserta pun memiliki catatan-catatan pembicaraan yang berlangsung dalam diskusi.
4. Tahapan Tindak Lanjut (Act)
Dari hasil refleksi dapat diperoleh sejumlah pengetahuan baru atau keputusan-keputusan penting guna perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran, baik pada tataran indiividual, maupun menajerial.Pada tataran individual, berbagai temuan dan masukan berharga yang disampaikan pada saat diskusi dalam tahapan refleksi (check) tentunya menjadi modal bagi para guru, baik yang bertindak sebagai pengajar maupun observer untuk mengembangkan proses pembelajaran ke arah lebih baik.
Pada tataran manajerial, dengan pelibatan langsung kepala sekolah sebagai peserta Lesson Study, tentunya kepala sekolah akan memperoleh sejumlah masukan yang berharga bagi kepentingan pengembangan manajemen pendidikan di sekolahnya secara keseluruhan. Kalau selama ini kepala sekolah banyak disibukkan dengan hal-hal di luar pendidikan, dengan keterlibatannya secara langsung dalam Lesson Study, maka dia akan lebih dapat memahami apa yang sesungguhnya dialami oleh guru dan siswanya dalam proses pembelajaran, sehingga diharapkan kepala sekolah dapat semakin lebih fokus lagi untuk mewujudkan dirinya sebagai pemimpin pendidikan di sekolah.

Diposkan oleh Dr. suyatno, M.Pd. di
07:46:00